penjelasan hadits tentang larangan menelantarkan tanah

.    Hadits Tentang Larangan Menelantarkan Tanah

حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.


“ Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
Selain dari hadits diatas, ada juga bersumber dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Antara kedua hadis tersebut terdapat persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori. Sedangkan perbedaannya adalah sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam kitab Al-Muzara’ah.
Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits di atas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam firman-Nya:

uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO#“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ 
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :

اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)
“ Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)

Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidakBOLEH . Ada lagi yang berpendapat boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain seperti yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dilarang menyewakan tanah itu lantaran ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tanaman yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akibatnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya.
Terkait dengan hadits diatas, disini Rosulullah S.a.w. juga bersabda dalam kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan tentang menyerahkan tanah kepada orang untuk dikerjakan kemudian memberikan sebagian hasilnya :

حَدِيْثُ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنه, اَنَّ النَّبِىَ ص.م. عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ, فَكَانَ يُعْطِى اَزْوَاجَهُ مِائَةَ وِسْقٍ: ثَمَانُوْنَ وِسْقَ تَمْرٍ, وَعِشْرُوْنَ وِسْقَ شَعِيْرٍ : فَقَسَمَ عُمَرُ خَيْبَرَ فَخَيَّرَ اَزْوَاجَ النَّبِىِّ ص.م. اَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ مِنَ الْمَاءِ وَالاَرْضِ اَوْ يُمْضِىَ لَهُنَّ فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الاَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الوَسْقَ, وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ الاَرْضَ. (اخرجه البخارى)
“ Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi S.a.w. menyerahkan sawah ladang dan tegal di khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi S.a.w. memberi istri-istrinya seratus wasaq (1 wasaq=60 sha’. 1 sha’ =4 mud atau 2 ½ Kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya’er (jawawut). Kemudian dimasa Umar r.a. membebaskan kepada istri-istri Nabi S.a.w. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq.” (HR. Bukhori)[1]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

artikel bahasa inggris tentang pendidikan islam

penjelasan Hadits Tentang Pohon yang Ditanam yang Dimakan Adalah Sedekah